Refleksi Marketing Politik dalam Politik Lokal di Indonesia
Analisa Penerapan 5 step of research-based political marketing dalam politik lokal di Banten
Kontestasi politik di Indonesia baik di Pilkada, Pileg, dan
PilPres dari waktu ke waktu semakin seru. Tingkat persaingan antar peserta
pemilu dalam memperebutkan suara pemilih juga semakin ketat, berbagai jurus
baik yang rasional sampai irrasional kerap mereka gunakan untuk memenangkan
pemilu. Kompetisi yang semakin ketat itu mengharuskan setiap kandidat/partai
menggunakan starategi pemasaran politik yang lebih baik.
Sering kali kita
melihat dalam praktek pemasaran politik yang di lakukan oleh partai atau
kandidat sekarang ini sifatnya “ujug-ujug” langsung berujung pada kampanye
tanpa melihat segmen pemilih yang dituju. Kandidat atau partai lebih memilih
jalan pintas tanpa memiliki strategi pemasaran politik yang memadai.
Menurut Firmanzah
(2008), paradigma dari konsep marketing politik adalah; Pertama, Marketing
politik lebih dari sekedar komunikasi politik. Kedua, Marketing politik
diaplikasikan dalam seluruh proses, tidak hanya terbatas pada kampanye politik,
namun juga mencakup bagaimana memformulasikan produk politik melalui
pembangunan simbol, image, platform dan program yang ditawarkan. Ketiga,
Marketing politik menggunakan konsep marketing secara luas yang meliputi teknik
marketing, strategi marketing, teknik publikasi, penawaran ide dan program,
desain produk, serta pemrosesan informasi. Keempat, Marketing politik
melibatkan banyak disiplin ilmu, terutama sosiologi dan psikologi. Kelima,
Marketing politik dapat diterapkan mulai dari pemilu hingga lobby politik di
parlemen.
sementara itu
menurut O’Shaughnessy dalam Firmanzah (2008), marketing politik berbeda dengan
marketing komersial. Marketing politik bukanlah konsep untuk “menjual” partai
politik (parpol) atau kandidat kepada pemilih, namun sebuah konsep yang
menawarkan bagaimana sebuah parpol atau seorang kandidat dapat membuat program
yang berhubungan dengan permasalahan aktual. Di samping itu, marketing politik
merupakan sebuah teknik untuk memelihara hubungan dua arah dengan pubik.
Dari definisi
tersebut terkandung pesan; Pertama, marketing politik dapat
menjadi “teknik” dalam menawarkan dan mempromosikan parpol atau kandidat. Kedua,
menjadikan pemilih sebagai subjek, bukan objek. Ketiga,
menjadikan permasalahan yang dihadapi pemilih sebagai langkah awal dalam
penyusunan program kerja. Keempat, marketing politik tidak
menjamin sebuah kemenangan, tapi menyediakan tools untuk
menjaga hubungan dengan pemilih sehingga dari hal itu akan terbangun
kepercayaan yang kemudian diperoleh dukungan suara pemilih. Serta pendapat lain
dari M. N. Clemente mendefinisikan marketing politik sebagai pemasaran ide-ide
dan opini-opini yang berhubungan dengan isu-isu politik atau isu-isu mengenai
kandidat. Secara umum, marketing politik dirancang untuk mempengaruhi suara
pemilih di dalam pemilu.
Philip Kotler dan
Neil Kotler (1999) menyatakan bahwa untuk dapat sukses, seorang kandidat perlu
memahami market atau pasar, yakni para pemilih, beserta
kebutuhan dasar mereka serta aspirasi dan konstituensi yang ingin kandidat
representasikan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan marketing politik dalam
penelitian ini adalah keseluruhan tujuan dan tindakan strategis dan taktis
yang dilakukan oleh aktor politik untuk menawarkan dan menjual produk politik
kepada kelompok-kelompok sasaran.
Dalam prosesnya,
marketing politik tidak terbatas pada kegiatan kampanye politik menjelang
pemilihan, namun juga mencakup even-even politik yang lebih luas dan -jika
menyangkut politik pemerintahan- bersifat sustainable dalam
rangka menawarkan atau menjual produk politik dan pembangunan simbol, citra,
platform, dan program-program yang berhubungan dengan publik dan kebijakan
politik.
Menurut Philip
Kotler dan Neil Kotler dalam Firmansyah (2008) merumuskan lima langkah dalam
pemasaran politik, 5 Step of Research-Based Political Marketing yakni 1. Segmenting atau Segmentasi pemilih merupakan tahap
pertama strategi pemasaran politik yang paling penting tapi seringkali
dilewatkan dalam penyusunan strategi pemasaran politik. Segmentasi paling mudah
dilakukan adalah berbasis demografi (usia, gender, dll) dan geografi. 2.
Positioning, Positioning adalah
bagaimana kandidat/partai menempatkan citranya di benak pemilih. Citra ini
harus dibentuk agar memiliki cita rasa kandidat/partai berbeda dengan pesaing
kandidat/partai lainnya. 3. Branding, branding adalah bagaimana
personifikasi dan identitas kandidat/partai itu di susun termasuk didalamnya
slogan dan simbol kandidat/partai. 4. Campaign, kampanye saat ini bisa melaui
serangan udara melalui media cetak maupun elektronik atau juga serangan darat
melalui tatap muka dengan pemilih. 5. Evaluasi dan Monitoring, Evaluasi dan
monitoring ini sangat penting untuk memantau kinerja team pemasaran politik dan
sebagai bahan masukan untuk perbaikan implementasi strategi pemasaran politik
yang telah disusun.
Pembahasan mengenai
politik lokal di indonesia tentunya tidak akan ada habisnya, apalagi indonesia memilikibanyak
sekali daerah baik itu Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa. tentunya
dengan kondisi tersebut banyak ranah yang dapat dieksploitasi dan menunggu sang
pemimpin di singgh sana tapuk kepemimpinan. banyak sekali persaingan dan
perebutan kekuasaan politik yang terjadi di ranah politik lokal, seperti
pemilihan eksekutif dan legislatif di provinsi dan kabupaten kota dan juga
pemilihan eksekutif desa yang saat ini cukup menyita perhatian para elit lokal
untuk menduduki posisi-posisi jabatan politis yang ada.
Telah dijabarkan
oleh penulis mengenai teori-teori tentang Political Marketing (Pemasaran
Politik) dan tahapan yang mesti diambil dalam melakukan dan menerapkan
pemasaran politik, namun apakah dalam politik lokal mereka telah menerapkan konsep
tersebut. Tentu ini menjadi pembahasan yang menarik untuk dibahas dan dikaji
lebih dalam. penulis akan coba mengambil contoh mengenai pemasaran politik yang
dilakukan oleh Pasangan Cagub dan Cawagub pada Pemilukada Provinsi Banten tahun
2017 lalu. kita telah sama sama melihat bagaimana kedua pasangan calon tersebut
melakukan kampanye politiknya mlalui beragai macam media, baik media cetak,
online, TV, dan melalui kampanye secara konvensional seperti melalui baliho dan
melakukan pertemuan tatap muka dengan masyarakat.
Pasangan nomor urut
1 yakni Wahidin & Andhika dan pasangan nomor urut 2 Rano & Embay
bersain untuk menduduki kursi Banten 1. kunci keberhasilan pasangan nomor urut
1 memenangkan pilkada banten lalu tidak lepas dari peran tim sukses yang mampu
memanfaatkan peluang dengan mengadopsi bebrapa konsep marketing politik dengan
baik. meskipun dalam beberapa survei menyebutan pasangan nomor urut 1 ini kalah
dari lawannya, namun mereka melakukan segmenting yang sangat bagus dengan baik,
yaitu dengan menadikan para pemilih pemula dan pemilih muda untuk menjadi calon
vooters mereka. kedua, mereka berhasil memunculkan kandidat pemimpin dengan
citra yang Bersih, Tegas dan Mampu membawa perubhan yang nyata bagi Provinsi
Banten. mereka menjadi pesaing yang kut bagi petahana yang tentunya telah
memiliki basis pemilihnya tersendiri. ketiga, mereka berhasil memanfaatkan
popularitas dan kelebihan yang mereka miliki, yaitu dengan memunculkan sosok
Andhika Hazrumy atau yang biasa di sapa “AA” dengan paras tampannya dan usia
yang muda untuk menarik para pemilih.
Namun dibalik
kesuksesan dari kampanye yang dilakukan oleh paslonnomor urut 1 ini bukan tanpa
celah, menurut penulis mereka kurang dalam memanfaatkan teknologi informasi
kekinian yang begitu intens, penggunaan media sosial yang dirasa masih sangat
minim, padahal di era milenial seperti saat ini penggunaan media sosial dalam
berbagai kegiatan sudah harus dilakukan tak terkecuali dalam pelaksanaan
praktik pemasaran politik di aras lokal. selain itu juga menurut penulis, kampanye
dengan cara konvensonal tidak terlalu efektif, seperti melalui baliho, dan pamflet
yang malah justru hanya menghamburkan biaya dan mengurangi estetika dari sebuah
daerah itu sendiri, karena biasanya setelah pemilu selesai sisa-sisa dari bahan
kampanye sering mengotori dandi pasang di tempat yang tidak semestinya.
Cara pemasaran politik
dengan gaya lama pun masih saja digunkan oleh pihak-pihak yang meanfaatkan
masyarakat yang masih “tidak faham” dengan substansi dari sebuah pemilihan
kepala daerah. mereka hanya akan memilih para calon yang memberikan uang atau
sembako kepada mereka, bukan mereka yang memiliki visi misi dan progra yang
jelas mengenai masa depan pemerintahan yang akan mereka pimpin. selain itu juga
penggunaan cara-cara kotor lainnya dilakukan dengan memanfaatkan “Kepatuhan”
masyarakat kepada tokoh-tokoh tertentu sehingga “dipaksa” untuk memilih salah
satu calon. biasanya tokoh yang di gandeng untukmempengaruhi mereka seperti
tokoh agama dan Local Strong Man yang ada di suatu wilaah tertentu.
Dengan kondisi
masyarakat indonesia khususnya yang ada di daerah jika masih berikap permisif
terhadap praktek-praktek kotor dalam pemilu, maka jangan lah bermimpi akan
sebuah kesejahteraan dan perubahan tatanan kehidupan masyarkat, yang ada mereka
akan terus “dibodohi” oleh pihak-pihak yang haus akan kekuasaan tapi tidak
becus dalam menjalankan kepemimpinan dengan baik. masyarakatlah yang terus akan
menjadi korban dari kekuasaan yang tidak sehat.
Sumber Referensi :
Firmanzah, Marketing Politik; Antara Pemahaman dan
Realitas (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008)
Gareth Smith dan Andy Hirst, Strategic Political
Segmentation, European Journal of Marketing, 2001
Komentar
Posting Komentar